Moralitas Tanpa Kebencian

Donny Ambarita

Extension Course Filsafat STF Driyarkara

Semester Gasal 2018/2019

Pengantar

Media sosial saat ini sangat banyak dikuasai oleh berbagai ujaran kebencian termasuk bullying.1 Berita hoaks menyebar dengan cepat disertai dengan ujaran kebencian sebagai pengantarnya. Pemerintah dengan peraturan dan undang-undangnya sering tidak berdaya mengendalikan karena banyaknya ujaran kebencian tersebut. Hal ini kemudian melebar ke banyak masalah lainnya, misalnya masalah radikalisme dan intoleransi.2

Beberapa pihak mencoba untuk mengingatkan dan mengimbangi supaya media sosial tidak dikuasai oleh kebencian dan berita bohong, tetapi kemudian karena tidak mudah berhasil, akhirnya mereka malah ikut membenci dan ikut menyemburkan kebencian di media sosial tersebut. Banyak orang yang dengan alasan untuk menjaga toleransi akhirnya justru terjebak dan ikut menambah ujaran kebencian di media sosial.

Tulisan ini akan membahas kompleksitas moral yang bagaimanapun juga dapat dilihat sebagai sumber masalah dalam media sosial sebagaimana disebutkan diatas. Pembahasan utama diambil dari buku Magnis Suseno “Etika Dasar: Masalah-masalah pokok Filsafat Moral.”3 Kompleksitas moral yang mestinya menyampaikan kita pada pemahaman bahwa kebencian adalah suatu hal yang tidak tepat dan penjelasan selanjutnya hingga kemudian akan dibahas tentang pentingnya kesadaran akan moralitas tanpa kebencian saat ini.

Kompleksitas Masalah Legitimasi Moral

Kompleksitas masalah moral utamanya terjadi di berbagai daerah yang majemuk. Untuk saat ini, masalah ini juga terjadi karena pengaruh dari globalisasi. Globalisasi menciptakan kesatuan masyarakat dunia yang dengan demikian juga menuntut suatu moralitas yang berlaku universal.

Mengikut Magnis Suseno, sistem moral individu diajukan oleh tiga lembaga normatif, pertama adalah lingkungan, termasuk keluarga dan semua orang sekitar yang mempengaruhi kita. Kedua nilai-nilai moral yang berasal dari lingkungan, yang sudah tertanam dalam batin, sehingga tetap menuntut untuk dipenuhi sekalipun tidak ada yang menyaksikan atau ketika sudah tidak berada pada lingkungan yang sama. Lembaga kedua ini dalam psikologi disebut sebagai Superego. Dan yang ketiga adalah ideologi, dengan contoh nilai-nilai agama yang termasuk pada bagian kelompok ini. Meskipun ideologi tidak lepas dari masyarakat atau lingkungan, namun hal ini dibedakan karena juga bekerja dalam bentuk abstrak, sebagai keyakinan atau kepercayaan seseorang yang dipegangnya dengan teguh. 4

Kompleksitas masalah moral cukup jelas dapat dilihat hanya pada dua orang yang berbeda. Misalnya, atas pernyataan Pak Ahok di Kepulauan Seribu, seorang bapak di Rawa Belong menyebutkan dengan terbuka bahwa Pak Ahok pantas dibunuh, dan dia berjanji akan memberi imbalan satu miliar rupiah kepada pembunuhnya.5 Bapak tersebut menyebutkan demikian karena mungkin menurut sistem moral yang beliau pahami, memang demikianlah harusnya. Tetapi bagaimana dengan menurut sistem moral yang dipahami oleh Pak Ahok sendiri? Tentu tidaklah demikian. Pak Ahok tidak merasa ada masalah dengan pernyataannya tersebut, dan karena itulah beliau mengucapkannya dengan percaya diri di depan media dan banyak orang. Maka, dalam hal ini, siapakah yang benar dan mesti diikuti?

Dalam prinsip moral kita mengenal tanggung jawab. Tapi dalam hal ini, bagaimana itu bertanggung jawab? Menurut bapak tersebut, Pak Ahok mesti dibunuh sebagai pertanggungjawaban atas pernyataannya di Kepulauan Seribu. Apakah atas nama tanggung jawab moral ini, maka Pak Ahok sungguh harus dibunuh? Jika kita tidak setuju, lantas bagaimana kita berbicara tentang tanggung jawab terhadap si bapak tersebut?

Bapak tersebut dan Pak Ahok bisa dilihat berasal dari lingkungan yang berbeda yang membuat mereka menganut sistem moral yang berbeda. Tetapi karena mereka berdua berjumpa di suatu lingkungan yang sama, maka itu menuntut suatu sistem moral yang sama. Hal ini yang seringkali menjadi sumber masalah.

Bahkan lebih lanjut, Magnis Suseno menyebutkan bahwa untuk masalah moral yang ruwet, akan kelihatan juga bahwa moralitas tidak senantiasa dapat dibatasi pada penyesuaian dengan tuntutan tiga lembaga normatif tadi. Tiga lembaga normatif yaitu lingkungan, superego, dan ideologi memiliki keterbatasan wewenang.6 Masalah kompleksitas moral akhinya kemudian akan ditentukan oleh suara hati setiap individu.

Suara hati menyatakan diri sebagai kesadaran tentang apa yang menjadi kewajibannya berhadapan dengan masalah konkret yang sedang dihadapi. Seringkali, meskipun banyak pihak menyatakan kepada kita apa yang wajib kita lakukan, tetapi dalam hati kita sadar bahwa akhirnya, hanya kitalah yang mengetahuinya. Jadi setiap orang berhak dan wajib untuk hidup sesuai dengan apa yang disadarinya sebagai kewajiban dan tanggung jawabnya.7

Orang lain bisa menilai bahwa apa yang disebut oleh bapak yang ingin membunuh Pak Ahok tadi adalah sesuatu yang tidak baik, tetapi bagaimana jika itu memang adalah sesuatu yang menurut bapak tersebut sebagai kewajiban dan tanggung jawabnya? Bagaimana jika tanggapan itu adalah suara hati bapak tersebut? Apakah dia salah dengan mengungkapkannya?

Kita memang juga berhak menilai dan menyebutkan jika menurut kita pandangan tersebut tidak baik. Tetapi kita tidak berhak untuk langsung menarik kesimpulan bahwa orang itu sendiri buruk. Barangkali ia salah perhitungan, barangkali ia bermaksud baik.

Kita tidak pernah dapat mengatakan bahwa orang lain salah. Yang dapat kita katakan adalah bahwa tindakan atau ucapannya tidak sesuai dengan apa yang menurut kita sebagai kebaikan. Kalau dari segi agama, kita tidak dapat menyatakan bahwa seseorang berdosa dan pasti masuk neraka. Yang dapat kita katakan adalah bahwa tindakan atau ucapannya tidak sesuai dengan apa yang menurut kita dituntut oleh Tuhan.8

Karena kita tidak dapat melihat ke dalam hati setiap orang, maka sesungguhnya kita tidak dapat menyebutkan bahwa seseorang tersebut sepenuhnya bersalah. Hanya Tuhanlah yang dapat menilainya. Jika yang dipentingkan Tuhan adalah hati dan budi orang, sedangkan kalau orang itu berbuat keliru karena bingung atau kurang pintar atau salah tafsir, maka itu tidak masalah bagi Tuhan. Tuhan tidak akan menganggapnya dosa.9

Hingga pada akhirnya, untuk masalah legalitas, menurut Magnis Suseno, menyebutkan bahwa orang tertentu merupakan seorang pendosa, orang terkutuk, pantas masuk neraka dan lain sebagainya adalah merupakan suatu kemunafikan yang buruk sekali dan sering justru mengungkapkan lebih banyak tentang watak orang yang menjatuhkan penilaian itu sendiri dibanding orang yang mau dinilainya tersebut.10

Apa yang kemudian dapat disimpulkan dari hal ini adalah bahwa sesuai dengan penelurusan filosofis, jelaslah bahwa ujaran kebencian adalah sesuatu hal yang tidak tepat. Kebencian adalah suatu hal yang salah dan cacat logika.

Etika Diskursus Tidak Memadai

Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, memang ada suatu sistem yang mestinya sangat baik, yaitu musyawarah untuk mufakat. Dalam bahasa filsafat yang barat, mengikuti Jurgen Habermas, hal ini disebut dengan etika diskursus. Etika ini sebagai kritik atas salah satu lembaga normatif yaitu ideologi.11 Dalam sistem ini, apa yang baik atau bermoral tidak lagi bergantung pada pendapat sekelompok orang, entah mayoritas atau minoritas, entah ahli atau pemula, entah pemimpin atau pengikut, melainkan hanya bisa ditentukan lewat sebuah diskursus yang bebas dan terbuka di antara seluruh anggota masyarakat yang akan menerima sistem moral tersebut. Yaitu segala yang oleh masing-masing pihak anggap sebagai sistem moral terbaik, diuji secara rasional dan akhirnya akan diperoleh satu kesimpulan sebagai sistem moral yang diakui bersama.

Tetapi masalahnya, setiap orang masyarakat memiliki tingkat rasionalitas dan pengetahuan yang berbeda, sehingga diskursus tidak dapat terjadi dengan baik. Atau seringkali tidak dapat diambil kesimpulan dengan mufakat dan hanya dipaksa dengan pengambilan keputusan lewat pemilihan dan pemungutan suara. Hal ini bisa berakibat pada adanya anggota masyarakat yang tidak mengikuti hasil keputusan dengan sepenuh hati. Atau seringkali juga bahkan ada anggota-anggota masyarakat tertentu yang tidak mau berdiskusi.

Kita memang mestinya mengutamakan untuk bisa memulai mengaplikasikan sistem diskursus ini, yaitu bahwa kita perlu belajar memahami setiap sistem moral yang masing-masing boleh ajukan dengan diskusi mendalam. Dalam contoh sebelumnya, semestinya Pak Ahok dan bapak tersebut bertemu berdialog untuk mendefinisikan kebaikan yang mereka berdua dapat terima. Tetapi, untuk sampai pada hal ini, kita membutuhkan suatu semangat yaitu semangat tanpa kebencian. Karena jika telah terlebih dahulu membenci, maka tidak mungkin akan ada suatu diskursus yang baik. Pak Ahok dan bapak tersebut tidak mungkin berdialog jika kebencian telah lebih dahulu menguasai.

Contoh paling nyata juga dapat dilihat di media sosial. Sering kali di sana tidak ada diskursus atau rasionalitas sama sekali. Yang ada hanyalah semburan emosi merasa paling benar. Mereka merayakan kebencian seolah merayakan kemenangan padahal sesunggunnya sama saja, kedua pihak merasa saling benar dan tidak ada yang berubah.

Moralitas Tanpa Kebencian

Penulis mengajukan ajakan untuk merefleksikan suatu sistem moral tanpa kebencian. Apapun sistem moral yang ingin dibangun dan diperjuangkan, hendaklah di sana jangan ada kebencian. Hendaknya kita sepakat, bahwa ketika suatu sistem moral mengandung atau memperbolehkan kebencian, maka sistem moral tersebut tidaklah sempurna.

Memang sudah banyak diskusi moral tentang penghormatan martabat manusia yang semestinya tidak memperbolehkan membenci. Sudah banyak pembelajaran tentang semestinya kita memiliki pemahaman yang berkemanusiaan yang adil dan beradab dan tidak membenci. Tokoh seperti Hans Kung misalnya, setelah banyak penelitian tentang sistem moral yang ada di seluruh dunia, terutama dari agama-agama yang ada di dunia, akhirnya menyimpulkan dalam prinsip empat yang penting ini dan mendesak orang untuk sungguh bertanggung jawab untuk mengupayakan hal-hal berikut: (1) Budaya tanpa Kekerasan dan Hormat terhadap Hidup, (2) Budaya Solidaritas dan Tata Ekonomi yang Adil, (3) Budaya Toleransi dan Hidup Sejati, (4) Budaya Kesamaan dan Kepartneran antara Laki-laki dan Perempuan.12  Prinsip-prinsip ini memang secara tidak langsung juga tidak memperbolehkan untuk saling membenci.

Hanya saja, prinsip penghormatan terhadap martabat manusia dan prinsip-prinsip lain oleh Hans Kung ini sering kali tidak menyentuh hal-hal yang konkrit. Berhadapan dengan orang yang tidak mau tahu dan tidak mau peduli dengan prinsip tersebut, sering kali pada akhirnya orang yang ingin mengingatkan justru menjadi emosional dan terjatuh dalam jurang kebencian. Prinsip tanpa kebencian hendaknya mestinya dinyatakan lebih awal dan lebih tegas. Hendaknya ini menjadi sumber refleksi untuk menyaksikan bagaimana diri setiap individu berhahadapan dengan pemikiran yang mungkin tidak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai kebaikan. Prinsip tanpa kebencian hendaknya menjadi benteng yang utama dalam membatasi bagaimana setiap individu bereaksi di media sosial, dan dalam setiap hal lainnya.

Urgensi Moralitas tanpa Kebencian

Mengapa moralitas tanpa kebencian ini menjadi suatu hal yang penting adalah karena media sosial saat ini sudah banyak dipenuhi oleh ujaran kebencian tersebut. Dan bukan suatu refleksi yang sulit untuk memahami bahwa kekerasan adalah puncak dari kebencian. Jika kebencian tersebut tetap dipelihara, maka tinggal menunggu waktu saja kekerasan akan terjadi.

Kebencian di Indonesia dapat dilihat sedang dipelihara oleh pihak-pihak tertentu yang akan mempergunakannya untuk berbagai kepentingan tertentu. Dalam media sosial misalnya terdapat akun-akun robot yang digunakan untuk mempengaruhi banyak orang sehingga api permusuhan di media sosial tersebut tetap terjaga.13 Jika tidak diatasi dengan tegas, ini ibarat menunggu bom waktu yang akan segera melukai bangsa ini.

Seperti disebutkan sebelumnya, masalah kebencian juga menyentuh mereka kaum radikal yang sangat yakin dengan kebenaran sistem moral yang dianutnya. Mereka rela mati demi tegaknya nilai moral tersebut. Padahal, apakah dengan keyakinan demikian maka sistem moral tersebut pasti benar? Tidak. Sepanjang sejarah juga kita dapat menyaksikan kekerasan oleh antar mereka yang merasa paling benar. Satu pihak siap mati untuk sistem moral yang dianutnya, dan itu diimbangi juga oleh pihak yang lain yang siap mati demi sistem moralnya. Sejarah kekerasan untuk menemukan apa yang paling baik semestinya tidak perlu dilanjutnya lebih jauh.

Semua memang setuju bahwa kekerasan itu bukanlah hal yang baik, tetapi hendaklah awas dan waspada mendalam hingga sampai pada akarnya, yaitu kebencian. Untuk menghindari kekerasan, perlu ketegasan untuk apa pun bentuk sistem moral yang hendak diperjuangkan, tidaklah boleh ada kebencian didalamnya.

Belajar dari sejarah, dalam memperjuangkan banyak hal, Mahatma Gandhi juga memperjuangkan satu hal, yaitu nilai moral tanpa kekerasan. Sebaik dan semulia apa pun tujuannya, dalam perjalanan perjuangannya, tidak boleh dipaksakan dan sampai menghalalkan kekerasan untuk sampai di sana. Mengikuti Gandhi, Nelson Mandela dan Martin Luther King, Jr juga mempergunakan prinsip yang sama dalam perjuangan pergerakannya masing-masing untuk kemerdekaan Afrika Selatan dan penghapusan Apartheid. Untuk saat ini, penulis kira kita perlu untuk merefleksikan tentang nilai moral tanpa kebencian. Karena jika tidak, bukan hal yang aneh jika budaya kekerasan kembali terulang.

Catatan akhir:

1. http://mediaindonesia.com/read/detail/177256-jokowi-sedih-banyak-ujaran-kebencian-di-medsos diakses 21 Desember 2018

2.  https://nasional.kompas.com/read/2018/03/16/19472591/ujaran-kebencian-dan-hoaks-di-media-sosial-tingkatkan-radikalisme diakses 20 Desember 2018

3.  Magnis-Suseno, Franz., Etika Dasar : Masalah-masalah pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1993

4.  Ibid., hlm. 50

5. https://news.detik.com/berita/3339662/sebar-sayembara-rp-1-miliar-berbau-sara-seorang-pria-tua-dipolisikan diakses 21 Desember 2018

6.  Magnis-Suseno, Franz., Etika Dasar : Masalah-masalah pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 51

7.  Ibid., hlm. 53

8.  Ibid., hlm. 58

9.  Ibid., hlm. 59

10.  Ibid., hlm. 59

11. Budi Hardiman, F., Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius, 1990

12.  Hans Kung, dalam pernyataannya di hadapan Rapat Pleno PBB 21 November 2001, diterjemahkan oleh, dan diperoleh dari S.P. Lili Tjahjadi

13. http://mediaindonesia.com/read/detail/180586-waspada-akun-bot-di-media-sosial diakses 20 Desember 2018

Daftar Pustaka

Budi Hardiman, F., Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm. 115-135

_______________, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius, 1990

Magnis-Suseno, Franz., Etika Dasar : Masalah-masalah pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1993

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar